top of page

NGOBROLIN PENDIDIKAN SAMBIL NGOPI“TANTANGAN PENDIDIKAN DALAM ERA MILENIAL”

foryoumyindonesia

Kamis, 20 April 2017

Menyikapi perkembangan masalah pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, Yayasan Rawamangun Mendidik (YRM) mengundang beberapa orang narasumber yang dianggap memiliki pandangan-pandangan kritis terhadap dunia pendidikan, untuk selanjutnya “Ngobrolin Pendidikan Sambil Ngopi”  di Sekretariat YRM, Jln. Pisangan Baru Timur (Kebon Sereh) No. 24 Jakarta Timur. Kebetulan acara ini digelar bersamaan dengan ungkapan rasa syukur enam bulan (3 Oktober 2016) berdirinya Yayasan Raawamangun Mendidik, dan inilah acara umum perdana sejak YRM berdiri.

 

Dalam acara “Ngobrolin Pendidikan Sambil Ngopi”, ada beberapa pokok pikiran perubahan mendasar dan mencolok dalam beberapa dekade terakhir ini, dan mungkin akan berlangsung dalam satu dekade ke depannya:

 

Pertama, pertumbuhan ekonomi di RRC dan India telah memorak-morandakan keyakinan banyak kalangan mengenai dominasi negara maju (developed countries). Contoh ekstrim adalah RRC yang sistem politiknya tetap berdasarkan komunisme, namun menjadi raksasa kapitalisme baru. Pertanyaan kemudian apakah teori-teori tentang ideologi, kapitalisme dan komunisme dalam konteks politik ekonomi, masih layak digunakan untuk memahami relasi sosial dan budaya dunia di jaman matinya ideologi menurut Fukuyama seperti sekarang ini?

 

Kedua, ledakan perkembangan teknologi komunikasi yang cenderung revolutif. Tak ada lagi halangan bagi orang untuk mencari keterampilan (skills) dan pengetahuan (knowledge). Berbagai situs               internet, saluran video, situs jual-beli online, sistem transaksi keuangan virtual yang tak berwujud uang, blog pribadi, dan berbagai platform media sosial, telah merubah pola hubungan antar manusia, dimana semua orang terhubung dan tersatukan dalam satu dunia tanpa harus bertatap muka.

 

Hancurlah definisi dan konseptualisasi kita mengenai ruang, waktu dan tempat (time, space, and place). Tatap-muka berubah menjadi “tatap-layar” (cam to cam = c2c). Kerekatan sosial tidak lagi terbentuk karena pertemuan fisik, tapi sangat mudah terbentuk oleh kedekatan dan kesamaan pandangan yang dibagikan (share) melalui media sosial, meski satu sama lainnya tidak pernah bertatap muka dan tidak saling mengenal dalam pengertian “tradisional”.

 

Ketiga, dalam konteks ekonomi, pengertian mengenai barang dan jasa mengalami penambahan jenis dan perubahan drastis. Sesuatu yang tidak berwujud (game dan emoticon sebagai contoh) telah menjadi komoditi baru dan masuk menjadi bagian dalam “sesuatu” yang diperdagangkan. Barang dan jasa yang  tidak berwujud ini bahkan telah menjadi source of income yang menghasilkan uang dalam jumlah banyak dan bahkan akan menjadi sumber penghasilan baru dunia di masa mendatang.

 

Keempat, konsep “kerja” juga mengalami perubahan. Ada banyak orang muda yang kerjanya setiap      hari “nongkrong” di café, cuma untuk ngopi, selfie, dan kompi (komputer). Colokan listrik, wifi dan kopi menjadi kebutuhan primer mereka. Mereka bersenang-senang? Nonton video, streaming, bersosialisasi secara virtual, pulang pagi, dan tidak produktif? Beberapa mereka memang demikian. Namun kalau diamati, kita bisa juga salah memahami mereka.

 

Banyak di antara mereka adalah saudagar online. Mereka memperdagangkan informasi, mengembangkan media sosial untuk mencari pengikut (follower), memanfaatkan popularitas akun media sosial sebagai sarana promosi (endorse) produk, membuat film-film singkat untuk diunggah di internet dan mendapatkan bayaran dari setiap click atau per view. Dan masih banyak ragam sumber pendapatan ekonomi mereka yang belum kita ketahui.

 

Mereka ini tidak melulu dari kalangan mampu, bukan lulusan universitas ternama, bahkan banyak dari kalangan mereka memandang pendidikan cuma formalitas semata. Namun jangan pernah meremehkan pengetahuan mereka. Stock of knowledge dan knowledge gain mereka sangat beragam, spesifik, dan secara teknis mampu dieksekusi. Internet memberi mereka pengetahuan dan keterampilan tanpa dibatasi oleh sekat-sekat dinding tembok ruang empat kali empat. Karena kini layar monitor adalah ruang kelas mereka.

 

Kelima, fenomena politisasi identitas, sentimen agama makin menguat. Berbagai aksi, reaksi, komentar di berbagai platform media sosial dan media lainnya memperlihatkan perubahan yang semakin irrasional. Pola konsumsi informasi pun berubah drastis. Informasi dikonsumsi hanya untuk         membenarkan atau verifikasi terhadap keyakinan dan kepentingan subjektif. Mereka menolak informasi yang tidak sejalan dengan keyakinan subjektifnya. Kini bukan media yang menentukan pembaca, tapi pembaca yang menentukan medianya sendiri-sendiri.

 

Debat-debat irrasional sangat mudah ditemukan di media sosial. Apakah ini bentuk sublimasi (meminjam istilah Freud) keterhimpitan rasionalitas hingga ke bawah sadar yang kemudian menemukan jalan keluarnya pada era milenial ini? Apakah ini juga sebentuk tekanan dari model interaksi didaktis “tuan dan hamba” di ruang kelas, yang tidak memberi ruang apresiasi pada murid sebagai manusia yang memiliki pikiran, angan, imajinasi, dan hasratnya sendiri-sendiri, sehingga mutual respect tidak mendapat tempat dalam proses-proses di kelas?

 

Keenam, hari ini kita berhadapan dengan ukuran kemajuan persekolahan yang melulu diukur secara      materialistik, administratif dan birokratif, sehingga arah kebijakan kemajuan sekolah di lapangan terpaksa mengejar indikator dan kriteria tersebut. Tiba-tiba kita dikejutkan oleh pertanyaan Sri Mulyani. Dengan anggaran Rp. 400 Trilyun atau 20% APBN, apakah kita sudah mendapatkan  pendidikan yang kita inginkan? Apakah sudah dihasilkan pengajar yang mampu membawa murid-murid menjadi pengusung kemajuan Indonesia ke depan?

 

Akhirnya, apapun proses mentalitas dan “governmentality” (meminjam istilah Faucoult) yang sedang terjadi, salah memprediksi dan mengantisipasi semua perubahan ini akan berakibat buruk pada kelangsungan negara ini. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana teori-teori sosial, kebudayaan dan filsafat yang ada menjelaskan fenomena milenial ini? Bagaimana respon dunia pendidikan terhadap perubahan-perubahan dunia yang semakin sulit dideteksi? Apakah model pendidikan yang ada sekarang masih relevan? Pertanyaan yang tidak mudah.


Aris Susanto (berkacamata), salah satu narasumber dalam acara “Ngobrolin Pendidikan Sambil Ngopi”Aris Susanto adalah aktivis. Copyright-YRM


Savic Ali (baju putih), salah satu narasumber dalam acara “Ngobrolin Pendidikan Sambil Ngopi” Savic Ali adalah santri, aktivis, dan intelektual muda NU. Copyright-YRM

Dino R. Kusnadi (baju batik), salah satu narasumber dalam acara “Ngobrolin Pendidikan Sambil Ngopi” Dino R. Kusnadi adalah Fungsional Madya Kementrian Luar Negeri. Copyright-YRM


Sebagian para pendiri Yayasan Rawamangun Mendidik berdiri (dari kiri) : Anton Chekov, Indro, Memet Nurachmat, Joko Purnomo, Rahmat Edi Irawan, Budoyo Pracahyo, Agung Irfan, Edy Budiyarso, Andre Donas jongkok (dari kiri) : M. Rafiq, Adri, Hidayat, Budiarti, Tanti, Tri Agus. Copyright-YRM

9 Ansichten

Aktuelle Beiträge

Alle ansehen
bottom of page